Wednesday 12 October 2011

Cerita Pendek Buat Sahabat=)

1296558715201572954“…jelas menatap awan berarak..wajah murung semakin terlihat,..dengan langkah gontai tak terarah,..keringat bercampur debu jalanan…”  Syair lagu itupun terus melantun dikamar seorang lelaki.
***
Dipagi yang basah,seorang lelaki berjalan mengelilingi desa dimana ia  baru menjalani kehidupan pada komunitas yang baru saja ia tinggalkan yaitu  Jakarta.Bukan karena kalah dalam persaingan hidup tetapi ia mencoba  untuk mengerti tentang hidup. Dia seorang lelaki setengah tua, baru setahun ia hidup didesa makanya ia mencoba untuk berkenalan dengan hidup yang sesungguhnya.
Selama ini memang ia terlalu sibuk dengan pekerjaan dan karier yang digelutinya, hingga ia lupa bahwa semua itu ada waktunya. Semua harus berjalan sesuai dengan kodrat alam yang telah Tuhan berikan pada kita sebagai umatnya.
Hampir empat puluh tahun ia habiskan hidup  diJakarta yang penuh dengan romantika dan penuh dengan hingar bingarnya musik persaingan yang sangat ketat  memekikan telinga hingga kita merasa lelah dengan persoalan kita masing-masing. Itulah hidup yang sarat dengan persoalan. Di usia yang seperti itu memang tak terlalu tua,mungkin bagi seorang yang cukup sukses  usia seperti seorang lelaki itu sedang berada dipuncaknya. Sayang, lelaki itu hanya seorang karyawan kontrak, habis kontrak maka habislah semua apa-apa yang menjadi haknya sebagai karyawan.Apalah daya kekuatan hukumpun tak  mendukung untuk menuntut.Memang sangat ironis dengan keadan seperti itu,berhenti bekerja tanpa pesangon atau uang pensiun untuk menikmati hidup dengan layak.
Untungnya  lelaki itu sudah memiliki rumah, ia bangun setahun yang lalu disebuah desa yang saat ini ia  baru tempati. Hasil dari jerih payahnya ia kumpulkan sedikit demi  sedikit meski harus berhutang dengan bank. Ia masih bersyukur tidak memikirkan rumah, pasalnya banyak teman-temannya merasa begitu bingung dan terpukul ketika cicilan rumah baru setahun, tiba-tiba kontrak kerja habis dan tak diperpanjang. Apalah daya kami hanya pasrah pada keputusan yang  mungkin agak menyakitkan.Kami memang
orang-rang  yang tak berduit tidak seperti para pejabat yang bisa membeli hukum atau menyewa pengacara. Tapi kami bukan kumpulan orang-orang terbuang, kami juga sama dengan mahluk hidup yang lain. Perlu makan dan hidup dengan layak.
****
Tiba-tiba lelaki itu terpana dan menghentikan lamunannya. Ia terus berjalan menelusuri pagi. Matahari baru saja memancarkan sinarnya, burung-burung pun mulai berterbangan dan meloncat dari dahan kedahan yang lain untuk mencari rizki. Para petanipun sudah mulai giat dengan paculnya untuk bergelut dengan Lumpur. Mereka sangat rajin tanpa banyak yang harus mereka pikirkan. Lelaki itu mencoba untuk belajar dari petani itu seperti syair lagu Ebiet G Ade..”…Sesungguhnyalah aku ingin belajar sikap mereka menjalani hidup…angin tolonglah   bawakan aku …sepotong kertas dan pena tajam….akan kutulis tebal-tebal pelajaranmu lewat diam…”
“Sahabat,..ini kutuliskan cerita pendek untuk kita jadikan bahan renungan  kita. Ternyata masih banyak yang harus kita teruskan., jangan berputus asa,..” Gumam lelaki itu sembari memperhatikan petani itu yang sedari tadi bersatu dengan dinginnya pagi. Sementara semilir angin terus membawa suasana yang begitu dingin. Lukisan alam pegunungan menambah keharmonisan suasana pagi yang nampak berseri.
“Punteen ?!…”  Sapa seorang perempuan istri petani kepada lelaki itu yang sedang terpana oleh lamunannya. “ Oh,.iya,..silakan bu,.. “  jawabnya dengan sedikit gugup. Dihisapnya sebatang rokok kretek yang sudah mulai pendek.
Lelaki itu kemudian berjalan dipematang sawah , tiba-tiba ia berjumpa dengan seorang gadis kecil yang sedang membantu orang tuanya. Matanya begitu lugu, polos dan penuh barsahaja.   “ Wach,.. rajin sekali de’…sedang membantu abah yach ?…”   Sapa  lelaki itu kepada gadis kecil yang nampak begitu malu-malu dan hanya  menundukan kepala memberi isyarat sembari tersenyum kecil.
Gadis kecil itu baru berusia  sembilan tahun tapi ia begitu  lihai dan penuh  bersahaja tanpa menuntut apa-apa  dalam membantu  orang tuanya disawah maupun diladang. Hampir semua anak-anak  baik laki-laki maupun perempuan  didesa itu begitu antusias dan dan rajin tanpa mengenal panas  atau udara dingin. Tidak seperti yang sering lelaki itu lihat  selama ini kebanyakan anak-anak  kota jam-jam seperti itu masih asyik bergeliat diatas kasur empuk atau bermalas-malasan didepan televisi apalagi pada hari minggu seperti ini sungguh jauh berbeda.
****
Ia masih duduk kedinginan diteras rumahnya,ditatapnya dalam-dalam apa yang ada didepannya. Memang nampak begitu asri tapi apakah lelaki itu sedang menikmati atau jauh lamunannya kesuatu tempat, yang pasti lelaki itu nampak bingung apa yang harus ia lakukan untuk bercerita tentang hidup. Masih terngiang  ditelinganya keputusan management yang diterimanya tentang keputusan sepihak yang menyebabkan lelaki itu terpaku dan kehilangan pekerjaannya. Meskipun baru mempunyai seorang anak tapi lelaki itu tetap saja merasa seperti kehilangan, was-was dan berbagai macam pikiran yang menghantuinya.
“ Beginikah sikap pemerintah yang tak mau membela rakyat kecil dan selalu  melihat sepihak demi keuntungan  belaka hingga nasib kami tergadaikan…”.  Lelaki itu terus mengerutu memaki dan menyalahi sesuatu yang sudah terjadi pada dirinya. Itulah faktanya sejak peraturan outsorcing deberlakukan yang selalu membela  para pengusaha tanpa memikirkan dampak  sosialnya terhadap buruh kontrak yang jelas nasibnya tergadaikan oleh permaianan  para elit yang berkepentingan. Tak heran banyak orang seperti lelaki itu yang terabaikan  nasibnya demi perjuangan keluarganya yang terdesak oleh kebutuhan ekonomi yang tak jelas.
“ Jelas menatap awan berarak/ Wajah murung semakin terlihat/ Dengan langkah gontai tak terarah/ Keringat bercampur debu jalanan,….” Syair lagu itu pun terus melantun terdengar diruang kamar seorang lelaki. Matanya masih berkaca-kaca memandangi gadis kecilnya yang baru saja merengek minta uang jajan. Batinnya sangat pedih tapi ia tak mau menampakan keresahan hatinya pada gadis kecilnya yang mungil dan lucu. Sesekali gadis kecil kesayangannya itu menatap sang ayah yang belum beranjak dari duduknya. Mungkinkah gadis kecil itu sudah mengerti kalau ayahnya sedang bingung?…Meski ia tahu dan sering menasehati dalam ceritanya ataupun dalam filosofnya tentang arti hidup yang harus dijalani. Tapi ia tetap manusia biasa yang terkadang goyah oleh keadaan.
Banyak cerita yang sudah ia tulis, banyak pengalaman yang sudah ia alami. Lelaki itu tetap saja merasa kebingungan untuk melangkahkan kelanjutan hidup. Karena ia tahu hidup ini bukan hanya filosof atau juga cerita tapi perlu  makan dan hidup seperti  yang diinginkan tapi jangan seperti para koruptor.
Cerita pendek ini ditulis untuk seorang sahabat, untuk kita yang sedang bingung, mari coba kita pelajari lagi arti yang sebenarnya tentang hidup. Jangan goyah,..hidup harus kita jalani seperti yang sudah digariskan Tuhan. Mari coba kita memohon padanya, jadikan semua pelajaran bagi kita,…lihatlah burung-diluar sana. Mereka tetap  diberikan rizki oleh Tuhan.
Lihatlah para petani diladang, mereka tak  memiliki gaji tapi mereka bisa bertahan dan menafkahi keluarganya. Meski hidup dalam kesederhanaan dan sangat bersahaja. Perjalanan hidup seseorang sudah ada yang mengatur,besok begini dan lusa lain lagi.
Jangan kita terpuruk oleh keadaan. Masih banyak yang harus kita benahi, mulailah dan awali dengan nyanyian angin pagi atau musik manis agar kita tetap hidup penuh dengan senyum.
Lihatlah pejuang-pejuang hidup, musisi jalanan,pedagang asongan dipinggir –pinggir jalan dengan gigihnya mempertahankan hidup. Kita diberi akal dan fikiran oleh Tuhan agar kita bisa membawa diri ini  untuk tetap hidup. Coba kita tengok  Adam  dan Hawa diturunkan kebumi ini tanpa dibekali apa-apa oleh Tuhan  tapi mereka tetap bertahan dan berjuang sampai akhirnya kembali bertemu.
“ Istriku,..marilah kita berdoa,..sperti yang pernah ibu     ajarkan,..Tuhan bagi siapa saja…lihatlah anak kita terdidur  dipingir jalan,…erat memeluk guling menahan lapar…esok hari..masilah teramat panjang…mari tidurlah lupakan sejenak  beban derita…”  Demikian syair lagu Ebiet G Ade menasehati istrinya tentang perjuanagan hidup.
****
Secangkir kopi hangat baru saja diserudup oleh lelaki itu diteras depan rumahnya. Pagi ini ia mulai merasa tenang setelah solat dhuha yang baru saja ia kerjakan. Segala daya upaya telah ia serahkan pada yang yang memiliki hidup. Tuhan bagi siapa saja dengan meminjam syair lagu, ia panjatkan doa untuk bertekwakal, sebab hidup ini harus dilanjutkan dan perahu yang sudah ada ditengahlautan harus dipertahankan jangan sampai goyah atau terombang-ambing ditelan ganasnya badai.
Dengan bermodal cinta kepada sibuah hati lelaki itu bertekad akan terus berjalan mempertahankan hidup. Jadi apa saja demi  perjuangan hidup.
“…sahabat, seorang lelaki tidak boleh takut akan hidup, jangan kita terlena oleh keadaan, mari kita bangkit.  Seorang lelaki harus berani mempertahankan hidup. Seorang lelaki bisa jadi apa saja, jadi petani,pedagang, penulis meskipun hanya menjual mimpi lebih baik usaha dari pada tidak. Arswendo pernah berkata mengarang lebih mulia dari pada menganggur….”
Demikian  lelaki itu mengakhiri ceritanya sembari menyerudup kopi hangat yang sedari tadi mulai dingin. Angin  pagipun mulai berhembus membisikan pada suasana hati bahwa hidup masih panjang bersama perejalanan waktu yang akan bercerita tentang nyanyian angin pagi.
Selesai.
_____________________________________________________________________________________
Saat ini penulis sedang mempersiapkan buku kumpulan Cerpen dan Puisinya, kontak penulis : twitter @JournalistCtzn. Ilustrasi courtesy of : wordpres.com

No comments:

Post a Comment