Wednesday 16 November 2011

Surat Khalifah Umar r.a kepada Abu Musa al-Asy’ari r.a

Antara kandungan surat Khalifah Umar r.a  kepada Abu Musa al-Asy’ari r.a, gubernur di Basrah, menyebut :
“Adapun  sesudah  itu,  sesungguhnya  menegakkan  hukum  (al qadla)   adalah  suatu  kewajiban  yang  pasti  dan  tradisi (Sunnah) yang harus dipatuhi. Maka  pahamilah  jika  sesuatu diajukan  orang  kepadamu.  Sebab,  tidaklah  ada manfaatnya berbicara mengenai kebenaran jika tidak dapat  dilaksanakan.
Bersikaplah ramah antara sesama manusia dalam kepribadianmu, keadilanmu dan majlismu, sehingga seorang yang  berkedudukan tinggi  (syarif)  tidak  sempat  berharap  akan  keadilanmu.
Memberi bukti adalah wajib  atas  orang  yang  menuduh,  dan mengucapkan   sumpah   wajib  bagi  orang  yang  mengingkari (tuduhan).    Sedangkan    kompromi    (ishlah,    berdama) diperbolehkan diantara sesama orang Muslim, kecuali kompromi yang menghalalkan hal yang haram dan mengharamkan  hal  yang halal.
Dan  janganlah engkau merasa terhalang untuk kembali pada yang benar berkenaan  dengan  perkara  yang  telah  kau putuskan  kemarin  tetapi  kemudian engkau memeriksa kembali jalan pikiranmu lalu engkau mendapat petunjuk kearah jalanmu yang  benar;  sebab  kebenaran  itu tetap abadi, dan kembali kepada yang benar adalah lebih  baik  daripada  berketerusan dalam kebatilan.
Pahamilah, sekali lagi, pahamilah, apa yang terlintas dalam dadamu yang tidak termaktub dalam Kitab  dan Sunnah,   kemudian   temukanlah   segi-segi   kemiripan  dan kesamaannya,  dan  selanjutnya   buatlah   analogi   tentang berbagai  perkara  itu,  lalu  berpeganglah  pada  segi yang paling  mirip  dengan   yang   benar.
Untuk   orang   yang mendakwahkan  kebenaran  atau  bukti, berilah tenggang waktu yang  harus  ia  gunakan  dengan  sebaik-baiknya.  Jika   ia berhasil datang membawa bukti itu, engkau harus mengambilnya untuk dia sesuai dengan  haknya.  Tetapi  jika  tidak,  maka anggaplah  benar  keputusan  (yang  kau  ambil) terhadapnya, sebab itulah yang lebih menjamin untuk menghindari keraguan,dan  lebih  jelas  dari  ketidakpastian  (al-a’ma, kebutaan,kegelapan)
Barang siapa  telah  benar  niatnya  kemudian teguh  memegang pendiriannya, maka Allah akan melindunginya berkenaan dengan apa  yang  terjadi  antara  dia  dan  orang banyak.
Dan  barang  siapa  bertingkah laku terhadap sesama manusia dengan sesuatu yang Allah ketahui tidak berasal dari dirinya  (tidak  tulus), maka Allah akan menghinakannya …”
Sumber : Dipetik dari tulisan oleh  Nurcholish Madjid  bertajuk  TAQLID DAN IJTIHAD : MASALAH KONTINUITAS DAN KREATIVITAS DALAM MEMAHAMI PESAN AGAMA

No comments:

Post a Comment